Minggu, 12 Desember 2010

Miracle of Giving Fool Episode 2

Sang-su yang menginap di rumah Seung-ryong menasehati Ji-in untuk memakan roti panggang yang sudah susah payah dibuatkan oleh kakaknya untuknya. Ji-in tak mau memakannya dan malah menyebut kakaknya dengan sebutan si idiot. Malah Sang-su yang marah mendengar kata-kata Ji-in. "Kenapa kau tetap memanggilnya seperti itu. Dia susah payah membuatkannya untukmu. Setidaknya cobalah sedikit sebelum kau berangkat sekolah" kata Sang-su. "Karna hanya itu yang bisa dilakukannya. Kalau kau mau pergi tolong tutup pintunya. Kalau mau roti itu makan saja. Kalau kau tak mau buang saja" ucap Ji-in sinis. "Hei! Ji-in!" teriak Sang-su, tapi Ji-in berlalu pergi begitu saja.

Narator : "Gadis cantik itu tak menyukai kakaknya".

Di warungnya, Seung-ryong mengingat kata-kata almarhum ibunya. "Seung-ryong, dengarkan aku. Seorang kakak harus menjaga adiknya. Saat ibu... tak ada, kau harus menjaganya, mengerti?Kau satu-satunya yang bisa kupercaya untuk menjaga Ji-in. Aku harap aku bisa terus menjaganya, Tapi aku tak bisa... Aku tak punya apa-apa. Kau adalah hadiah terakhir yang bisa kuberikan padanya. " itu pesan almarhum ibunya yang selalu diingat dengan baik oleh Seung-ryong. Seung-ryong tertawa. "Kau tahu, Bu? Aku tak pernah menangis. Tak pernah" batin Seung-ryong.

Di Kafe Little Stars, Ji-ho sedang ngobrol bersama Sang-su. "Aku terjebak dalam masalahku. Tapi kemudian aku bertemu dengan teman lamaku. Seorang teman yang sudah lama aku lupakan. Dia selalu kotor, mengingat hal-hal bodoh, dan putus asa rasanya saat bicara dengannya. Dan cara jalannya, sangat lucu. Tapi saat aku brsamanya, aku merasa lebih baik" cerita Ji-ho. " Ji-ho, teman lamamu itu Seung-ryong, kan?" tanya Sang-su. "Ya, tapi bagaimana ...Kau tahu tentang dia?" tanya Ji-ho yang terkejut. "Kurasa kau tak ingat aku. Seung-ryong adalah sahabatku. Kurasa mungkin Seung-ryong lah yang membawamu ke sini" jelas Sang-su.


"Aku tak mengerti. Apakah sesuatu yang buruk terjadi pada Seung-ryong?" tanya Ji-ho kaget. "Tanyakan saja padanya. Seung-ryong tak pernah berbohong" kata Sang-su. Tiba-tiba pemilik Kafe Little Stars datang dan memandang remeh pada Sang-su dan Ji-ho.

"Sedang sibuk pacaran kah?"tanya pemilik Kafe. "Ada yang harus kukatakan padamu. Kau harus menyiapkan beberapa hal" kata pemilik Kafe sambil memandang ke bagian dalam ruangan di Kafe itu. "Kenapa perempuan menyebalkan itu belum datang jam segini?" tanya pemilik Kafe lagi. " Dia sudah menelpon. Katanya sakit. Tapi dia akan datang" jawab Sang-su. "Bukan salahnya kalau begitu. Dan kau nona, jangan hanya duduk-duduk disini sambil minum kopi sialan. Kau pikir ini Kafe biasa?" kata pemilik Kafe lagi sambil menyalakan rokoknya. 

"Aku pikir lebih baik aku pergi ..." kata Ji-ho kemudian. " Ji-ho. Datanglah kesini kapan saja. Masih ada banyak kopi" kata Sang-su.

Ji-ho berjalan menuju rumahnya. Seperti biasanya, di balik tiang listrik depan rumahnya, berdiri Seung-ryong sambil mengamati kamar Ji-ho dan menyanyikan lagu Twinkle-twinkle little stars. Ji-ho teringat masa lalunya. "Pertama kali aku bermain piano di atas panggung, Aku sangat gugup. Aku bahkan tak bisa melakukan apa-apa. Tapi, aku mendengar seorang
anak laki-laki menyanyikan lagu ini dan itu membantuku mengingat nada. Karna lagu Twinkle-twinkle little stars itu, aku jadi bisa bermain piano malam itu. Anak laki-laki itu pasti kau" batin Ji-ho sambil tersenyum.

 Ji-ho dan Seung-ryong ada di atas "bukit Seung-ryong". "Seung-ryong. Pertama kali aku bertemu denganmu lagi itu disini... Aku dengar kau di sini setiap hari. Mengapa kau selalu naik ke sini?" tanya Ji-ho. "Menunggu bintang ...Tempat ini tinggi dan dekat dengan langit,
Jadi aku bisa melihat Ji-ho datang" kata Seung-ryong. Kau melihat aku datang? Apa kau menungguku selama ini?" tanya Ji-ho lagi. "Uh-huh" hanya itu jawab Seung-ryong sambil tertawa.


Di Kafe little stars. "Ka'Sang-su. Aku akan berhenti. Aku tidak akan melakukan ini lagi.
Tak apa-apa  kan?" tanya Hwi-yeong pada Sang-su. "Ya. Kau harus mengikuti hatimu" jawab Sang-su. Hwi-yeong tersenyum mendengarnya. 

Pagi itu di tempat Seung-ryong berjualan, Papa Ji-ho sedang menikmati roti panggang buatan Seung-ryong. "Hei, ini enak sekali. Aku sudah mendambakan ini sepanjang malam" kata Papa Ji-ho. Seung-ryong tertawa malu-malu sambil menutupi wajahnya dengan spatulanya dan mengucapkan kata mutiaranya seperti biasa. "Roti ini bahkan jadi semakin enak setiap hari. 


Apa kau pernah merasa sakit?" tanya Papa Ji-ho. "Tidak" jawab Seung-ryong sambil tertawa-tawa. "Apa kau pernah tiba-tiba sesak nafas? Atau merasa lelah?" tanya Papa Ji-ho lagi. "Tidak sesak...tidak lelah..."jawab Seung-ryong sambil terus tertawa-tawa. Saat Papa Ji-ho menasehati Seung-ryong untuk sering mandi, Seung-ryong bilang ia sering mandi. Tapi kata-katanya di tertawakan oleh tiga orang siswa yang sedang menikmati roti panggangnya karna yang mereka tahu, Seung-ryong jarang mandi. (hihihihihi......).

Sementara itu di dalam kelas, Ji-in hanya tiduran di bangkunya. Temannya menghampirinya dan menanyakan keadaannya yang begitu pucat dan seperti mau pingsan. Ji-in bilang ia baik-baik saja. Ia hanya lelah. Teman-temannya terus mencemaskan Ji-in yang bangkit dari tempat duduknya dengan lemah.

Pulang sekolah, Seung-ryong memperhatikan adiknya dari dalam warungnya. Ia melihat Ji-in bersandar di pagar sekolah. Ada teman Ji-in yang menghampirinya. Ji-in, apa kau sakit? Apa kau baik-baik saja?" tanya temannya. Ji-in malah pergi ke arah berlawanan dari jalan menuju rumahnya. Kau mau pergi kemana? Jalan kerumahmu bukan kesana!" teriak temannya. Tapi Ji-in tak memperdulikannya. Temannya hanya bisa memandangnya dengan heran.


Hari sudah berubah senja. Seung-ryong mengamati jalan mencari-cari Ji-in yang belum pulang juga. Sekolah-pun sudah di kunci oleh penjaga sekolah. Tapi Seung-ryong masih tetap menunggu Ji-in yang belum pulang. Sampai akhirnya ia kelelahan dan tertidur. 


Tiba-tiba ia terbangun dan tak sengaja tangannya menyentuh tempat memanggang roti yang masih panas. Tentu saja ia kaget karnanya. "Panas! Panas! Aduh! Sakit! Aduh!" teriak Seung-ryong kesakitan karna tangan kanannya terbakar.

Ji-ho tiba-tiba datang menghampiri warung Seung-ryong. "Kenapa kau masih di sini?" tanya Ji-ho. "Aku....aku....Ji-in belum keluar juga....belum keluar" jawab Seung-ryong. "Ji-in? Ini sudah gelap...Kau menunggunya sepangjang hari?" tanya Ji-ho. kemudian ia mengajak seung-ryong pulang. "Jangan khawatir, ia pasti sudah pulang. Dari fajar sampai sekarang. Apa kau tidak lelah?" tanya Ji-ho khawatir. "Tidak...tidak lelah.."jawab Seung-ryong sambil tertawa-tawa.


Seung-ryong dan Ji-ho sampai di depan rumah. Kemudian Seung-ryong berteriak dengan gembira saat melihat lampu kamar Ji-in menyala. Brarti Ji-in ada di dalam lamar. "Ji-in ada dirumah! Ji-in! Ji-in, kau di rumah?" teriak Seung-ryong gembira sambil membuka pagar rumahnya..

Seung-ryong membuka pintu kamar Ji-in dengan gembira sedangkan Ji-in marah melihat kakaknya masuk ke kamarnya. "Apa yang kau lakukan? Sudah ku bilang jangan pernah masuk ke kamarku! Aku bisa mengurus diriku sendiri, Cepat keluar!" hardik Ji-in. Seung-ryong merasa bersalah. "Oh....Ma...Maafkan aku! Maaf!" kata seung-ryong terbata-bata kemudian keluar rumah sambil tertawa seperti biasa.

Seung-ryong berjalan menemui Ji-ho yang menunggunya di depan rumah.Ji-ho tersenyum melihat Seung-ryong tertawa bahagia. "Ji-in ada di rumah" kata Seung-ryong. "Aku sudah bilang" kata Ji-ho. "Ji-in ada di rumah sekarang" kata Seung-ryong lagi. "Aku akan pergi sekarang" kata Ji-ho kemudian. "Hah? Uh-huh" jawab Seung-ryong. "Sampai jumpa" kata Ji-ho lagi sambil melambaikan tangannya. "Ya. hati-hati..." kata Seung-ryong sambil melambaikan tangan kanannya.

Ji-ho terkejut melihat tangan Seung-ryong yang terbakar. "Apa yang terjadi dengan tanganmu?" tanya Ji-ho cemas. Ji-ho berlari menghampiri Seung-ryong. "Apa kau terluka?!" tanya Ji-ho. "Oh, tidak. Ini tak apa-apa" kata Seung-ryong. "Apa yang terjadi? Ini terbakar" kata Ji-ho. "Aku sedang tidur sebentar ...Tidak sakit. Tidak apa-apa" kata Seung-ryong. Ji-ho mengamati luka tangan Seung-ryong. "Kulitnya terkelupas ...Apa kau punya kotak P3K?" tanya Ji-ho khawatir.

Seung-ryong mengeluarkan kotak obat miliknya yang isinya sangat komplit. "Tidak boleh sakit ...Ibu dan Ji-in ...Tidak boleh sakit" itu yang diucapkan Seung-ryong saat tangannya diobati oleh Ji-ho. Ji-ho meminta Seung-ryong untuk percaya kalau Ji-ho bisa mengobati lukanya karna bagaimanapun juga, papa Ji-ho seorang dokter.


"Aku pergi" kata Ji-ho setelah selesai mengobati dan membalut luka Seung-ryong dengan perban. "Ya. Sampai jumpa" jawab Seung-ryong. "Seung-ryong. Apa yang akan kau lakukan sekarang?" tanya Ji-ho. "Menyikat gigi...Tidur. Ibu bilang, "Selalu sikat." Tapi kadang aku terlalu malas" jawab seung-ryong.

Kemudian Ji-ho membasuh rambut Seung-ryong dengan air. Juga memberinya shampo. Seung-ryong teringat ibunya yang biasa memandikannya. "Ibu, Apa kau bahagia di surga?
Aku rindu padamu, Bu" batin Seung-ryong. Ji-ho selesai memandikan Seung-ryong. Dan kaget sendiri melihat penampilan Seung-ryong yang jadi cakep setelah mandi.hehehehe...


"Aku akan benar-benar pergi sekarang" kata Ji-ho kemudian. "Ya. Sampai jumpa..Ji-ho" jawab Seung-ryong. Seung-ryong berkeliling halaman rumahnya. "Sepatu dari Ji-ho.
Sepatu dari Ji-ho" itu yang terus saja dikatakannya. Sesekali memandang dengan senang pada tangannya yang dibalut perban. Kemudian ia menyanyikan lagu favoritnya. Twinkle-twinkle little stars. Sementara itu, Ji-ho yang berjalan pulang juga menyanyikan lagu yang sama. 

Pagi hari di rumah Seung-ryong. Seperti biasanya, Seung-ryong membuatkan roti panggang untuk sarapan adiknya. "Ji-in, kau masih tidur? Apa kau sudah bangun?Aku berangkat.....Ji-in? Kau...Kau sudah bangun?"tanya Seung-ryong dari balik pintu kamar Ji-in. " Menjaga dirinya sendiri saja tidak bisa" kata Ji-in pelan, dari dalam kamarnya.

Seung-ryong sibuk melayani pembeli roti panggangnya. Semua orang memuji penampilan Seung-ryong yang bersih. Seung-ryong hanya tertawa-tawa seperti biasanya. Kemudian semuanya buru-buru masuk ke sekolah karna jam pertama pagi itu pelajaran Fisika yang gurunya killer abiez.


Seung-ryong terus mengamati kedatangan murid-murid. Ia cemas. Karna ia belum juga melihat Ji-in masuk sekolah. Sampai bel berbunyi-pun Ji-in belum juga datang. Tapi akhirnya Ji-in datang juga. "Mengapa kau begitu terlambat? Apakah kau sakit?" tanya Seung-ryong mencemaskan adiknya. "Jangan bicara padaku" jawab Ji-in ketus sambil terus berjalan dan memegangi perutnya. Tampak ekspresi wajahnya yang sedang menahan sakit


Sementara itu Hwi-yeong ditelpon pemilik Kafe."Hallo?" kata Hwi-yeong. " Dimana kau?" tanya pemilik Kafe. "Itu bukan urusanmu. Akan kukembalikan semua sisa uangmu, jadi jangan mencariku lagi. Dan dengarkan. Jangan libatkan Ka'Sang-su dalam hal ini. Ini adalah keputusanku" kata Hwi-yeong.  "Diam dan cepat kemari. Aku bahkan punya fotomu. Dasar kurang ajar! Apakah aku harus menjualnya secara online?" ancam pemilik Kafe. 

"Ya Tuhan, ini enak sekali" puji seorang dari tiga pembeli roti panggang Seung-ryong. "Hei, dia sekarang rapi dan bersih!" kata salah satu dari mereka. "Oh, benar! Dia sekarang jadi terlihat tampan" kata yang lainnya. Seung-ryong tertawa malu.


"Ayo pergi" kata satunya lagi. "Haruskah kita beli satu lagi?" tanya salah satu dari mereka. "Untuk si aneh Ji-in? Dia benci roti panggang! Ayo pergi" kata yang satunya. "Tapi tadi pagi ia terlambat datang dan diam saja, Dia sepertinya sakit" jawab yang lain. Tapi kemudian mereka bertiga berlalu begitu saja dari warung Seung-ryong karna setelah istirahat, masih ada pelajaran guru yang galak.

"Hai" Sapa Tuan Kim. Minta satu roti panggang, please " imbuhnya. "Permisi. Apakah aksen inggris saya terlalu bagus untuk Anda? Roti panggang. R-O-T-I-P-A-N-G-G-A-N-G. Haruskah aku selalu mengejanya untukmu" Tuan Kim berkata panjang lebar. Tapi seung-ryong tak menanggapinya. Tiba-tiba Seung-ryong berteriak, membuang spatulanya dan berlari masuk ke sekolah Ji-in. " Ji-in sakit! Ji-in! Ji-in! Ji-in!".

Lagi-lagi Seung-ryong meninggalkan Tuan Kim di warungnya. "Dia sudah gila!" umpat Tuan Kim. 

Seung-ryong berlari masuk ke sekolah Ji-in. membuat banyak murid-murid ikut berteriak histeris. Seung-ryong terus berlari dan berteriak memanggil nama Ji-in sepanjang koridor sekolah. "Ji-in? LEE Ji-in?" tanya salah seorang teman Ji-in sambil menunjukkan dimana Ji-in berada kepada Seung-ryong. 

Seung-ryong melihat Ji-in yang pingsan di bangkunya. Kemudian Seung-ryong menghampiri Ji-in dan berusaha menggendong Ji-in. Teman Ji-in membantunya. "Cepat. Pergi ke rumah sakit. Ibu meninggal seperti ini juga. Ji-in tak boleh mati. Kau akan segera dirawat dan akan baik-baik saja" kata Seung-ryong.


"Hei! Siapa kau?!" teriak salah seorang guru. "Dia... Aku kakaknya. Aku saudara Ji-in. Dan ini ... adikku. Aku ... adalah kakaknya. Dia adalah adikku. Aku...saudara Ji-in. Ji-in adalah adikku. Seung-ryong adalah saudara laki-lakinya ...Ini adalah adikku ... Ji-in.
Aku kakaknya, Seung-ryong. Aku kakaknya" kata Seung-ryong dengan terbata-bata.

"Pak! Bagaimana dengan warungnya?! Aku tidak punya waktu untuk ini!" teriak Tuan Kim dari dalam warung Seung-ryong saat melihat Seung-ryong berlari sambil menggendong Ji-in. 

Di rumah sakit, Papa Ji-ho mengatakan pada Seung-ryong untuk tidak khawatir. Papa Ji-ho akan merawat Ji-in dengan baik. Hasil tes-nya juga memakan waktu. Jadi Seung-ryong bisa beristirahat. Papa Ji-ho cemas melihat kaki Seung-ryong yang tak bersepatu dan banyak terdapat luka lecet.

Sementara itu, Sang-su yang hendak menemui Seung-ryong kaget saat melihat Tuan Kim ada di warung Seung-ryong. "Mengapa kau ada di sini? Mana Seung-ryong?" tanya Sang-su. "Pemilik warung ini, si idiot itu pergi begitu saja meninggalkan pelanggannya. Biar kukatakan padamu. Si idiot itu..." Tuan Kim tak jadi meneruskan kata-katanya karna Sang-su menatapnya dengan tajam mendengar Tuan Kim menyebut Seung-ryong idiot. "Pria sejati itu pergi dengan tergesa-gesa, dengan menggendong seorang gadis muda" kata Tuan Kim kemudian. "Ji-in?" itu yang ada di pikiran Sang-su.


Tuan Kim menggerutu sendirian, karna Sang-su juga ikut ergi setelah itu. Tiba-tiba datang pelanggan yang meminta dibuatkan 50 buah roti panggang. Pak pemulung membantu Tuan Kim membuat roti panggang.

Sang-su menghampiri Seung-ryong yang tertidur di bangku depan kamar Ji-in dirawat. Sang-su meminta Seung-ryong pulang dan mengatakan Sang-su akan menjaga Ji-in. Berulang kali Seung-ryong meminta Sang-su menjaga Ji-in. Biarpun Sang-su sudah menyanggupinya, Seung-ryong tetap saja meminta Sang-su untuk menjaga Ji-in. Sang-su menanyakan apa Seung-ryong sudah makan, tapi tak dijawab. Ternyata Seung-ryong sudah tertidur lagi. Sang-su menerima telepon dari Hwi-yeong. Kemudian Sang-su meninggalkan Seung-ryong yang tertidur pulas.


Sang-su kaget mendapati Hwi-yeong ada di Kafe Little Stars lagi. Hwi-yeong bilang hanya sebentar saja. Sang-su senang bisa bertemu Hwi-yeong. Dan mengajak Hwi-yeong minum kapan-kapan. Hwi-yeong malah bilang untuk minum sekarang saja.

Di rumah sakit, Seung-ryong terbangun dan kaget saat melihat kalau kepalanya bersandar ke bahu Ji-ho. "Tidurmu nyenyak?" tanya Ji-ho. "Oh, Maafkan aku. Oh, tidak" kata Seung-ryong terbata-bata seperti biasanya. "Apa yang salah?" tanya Ji-ho bingung. 
"Aku kehilangan sepatu ...Sepatu yang diberi Ji-ho" kata Seung-ryong dengan takut. "Tidak apa-apa. Kau bisa memakai yang lainnya. Aku akan pulang. Jangan tidur di sini,
rasanya tidak nyaman. Masuklah ke dalam. Ada tempat tidur kecil disamping tempat tidur Ji-in" kata Ji-ho. Dia tidak akan suka aku ada di sebelahnya" kata Seung-ryong sambil tertawa-tawa.


Di Kafe Little Stars. "Kenapa kau kembali?" tanya Sang-su pada Hwi-yeong. "Mari kita minum" kata Hwi-yeong mengalihkan perhatian. Tiba-tiba pemilik Kafe datang dan memperkeruh suasana. Pemilik Kafe marah melihat Sang-su dan Hwi-yeong yang berpegangan tangan. " Kau memintaku untuk tidak bercerita pada siapa-siapa. Tapi kau malah menceritakan padanya. Kau menyukainya. Aku tahu kau menyukainya. Aku tak peduli apa yang ingin kau lakukan. Kau milikku sampai kau membayarku, dasar perempuan brengsek" kata Pemilik Kafe marah sambil menjambak rambut Hwi-yeong. Terlihat amarah di wajah Sang-su. Karna tak tahan melihat Hwi-yeong diperlakukan secara tidak sopan oleh pemilik Kafe, maka Sang-su menghajar pemilik Kafe habis-habisan.

"Jangan pernah mendekatinya lagi!" ancam Sang-su. "Dia bilang dia punya fotoku. Aku tak tahu yang bagaimana. Mungkin saat aku tertidur" kata Hwi-yeong kemudian. Sang-su memaksa pemilik Kafe untuk memberikan foto itu pada Hwi-yeong. Tapi pemilik Kafe tak peduli. Ia malah memukul tangan Sang-su dengan botol hingga pecah. Kemudian Sang-su mengajak Hwi-yeong pergi dari tempat itu. Sang-su bilang ia akan mendapatkan foto itu untuk Hwi-yeong bagaimanapun caranya.

Seung-ryong melihat sepasang sepatu di depannya saat ia bangun tidur."Berjanjilah jangan sampai kehilangan sepatu ini lagi. Ji-ho" itu bunyi pesan yang ada di dalam sepatu itu.Seung-ryong tertawa senang sambil mengamati sepatu itu.


"Seung-ryong berkeras tak mau masuk kesini. Dia bilang kau lebih suka sendirian. Anak itu....Ia hanya punya satu jaket dan beberapa celana pendek. Padahal yang kutahu, sepanjang tahun ia bekerja dengan  keras setiap hari dan setiap malam. Aku selalu penasaran kenapa ia bekerja begitu keras untuk mengumpulkan uang. Aku tak pernah melihatnya memakai uangnya untuk dirinya. Tapi kurasa aku tahu sekarang. Aku melihatnya membayar semua biaya perawatanmu. Dan dia selalu saja tertawa seperti itu" kata Papa Ji-ho pada Ji-in.

"Ji ... Ji-in, apa kau sudah sadar? Apa kau baik-baik saja? Aku akan pergi sekarang. Tapi...aku akan datang lagi" kata Seung-ryong. Ji-in hanya memandang lemah ke arah Seung-ryong. 

Seung-ryong ada di ruangan Papa Ji-ho. Ia kecewa karna ginjalnya tak cocok untuk di donorkan pada Ji-in yang menderita gagal ginjal. Papa Ji-ho berusaha menghiburnya. "Pasti akan ada jalan yang lain" kata Papa Ji-ho. 

Hwi-yeong menemui pemilik Kafe Little Stars lagi sambil menyerahkan sebuah cek. Dan meminta fotonya. Pemilik Kafe menyerahkan foto Hwi-yeong. Ternyata foto biasa. Bukan foto Hwi-yeong dalam keadaan telanjang atau semacamnya. Pemilik Kafe bilang ia melakukannya karna ia benar-benar mencintai Hwi-yeong. tentu saja Hwi-yeong marah mendengarnya. Setelah semua perlakuan yang diterima Hwi-yeong, bisanya ia beromong-kosong tentang cinta. Hwi-yeong merobek-robek foto itu karna marah. Kemudian beranjak pergi. Pemilik Kafe bertanya apa semua ini karna Sang-su?. Hwi-yeong hanya berhenti sesaat, lalu kemudian berlalu dari tempat itu.

"Wah Itu yang akan kita lakukan! Sang-su dapat memberikannya untuk Ji-in! Jadi itulah yang akan kita lakukan!" teriak Seung-ryong di rumah sakit. "Seung-ryong tidak berterima kasih karena dia terlalu bahagia ..." kata Ji-ho pada Sang-su." Aku pikir ini hal yang wajar. Karna ia juga akan melakukan hal yang sama untukku" kata Sang-su.

Seung-ryong masuk ke kamar Ji-in dan meminta maaf pada Ji-in karna tak bisa memberikan ginjalnya untuk Ji-in. Tapi Seung-ryong berkata, temannya Sang-su akan memberikan ginjalnya untuk kesembuhan Ji-in. Ji-in meminta Seung-ryong untuk masuk ke dalam. Dengan ragu-ragu Seung-ryong masuk ke kamar Ji-in. Tetap saja Ji-in marah-marah karna melihat luka di tangan Seung-ryong yang di perban. "Kenapa kau selalu terluka seperti orang bidih. Kau sellau terjatuh dan tergelincir. Bagaimana bisa kau menjagaku kalau menjaga dirimu sendiri saja tak bisa" kata Ji-in.

Seung-ryong berada diatas bukit bersama Ji-ho. "Ji-in sedang dioperasi, tapi aku tak bisa melihat bintang" ucap Seung-ryong. "Itu karena malam ini berawan. Bulan bersembunyi dibalik awan. Kupikir sebentar lagi salju juga turun" kata Ji-ho. "Tidak....tidak ada salju ... Ji-in sedang di operasi. Ayah dan Ibu harus datang melihat. Orang meninggal ... Akan menjadi bintang. Ayah dan Ibu harus datang untuk melihat Ji-in" kata Seung-ryong sedih. "Semuanya akan baik-baik saja, Seung-ryong" hibur Ji-ho.

Seung-ryong memandangi Ji-ho. "Ada apa?" tanya Ji-ho. "Ji-ho... Ji-ho, piano ...Mainkan piano untukku" kata Seung-ryong kemudian."Apa? Piano?" tanya Ji-ho lagi. "Piano Ji-ho membuat bintang-bintang datang" kata Seung-ryong kemudian. "Seung-ryong,? Permainan pianoku ... menyedihkan" kata Ji-ho dengan sedih. "Tidak.. Piano Ji-ho membuat dunia indah. Dengan piano Ji-ho..,dunia ...jadi indah...sangat indah. Ji-ho, Seung-ryong tidak bisa berbohong. Seung-ryong tidak berbohong. Aku ingin melihat bintang-bintang. Bintang harus muncul. Ibu dan Ayah juga ..."Seung-ryong tak bisa meneruskan kata-katanya karna di potong oleh Ji-ho. Ji-ho menolak memainkan piano karna Ji-ho masih saja trauma memainkan piano.

Di Kafe little stars, Sang-su sedang berbicara dengan pemilik Kafe. "Kau pikir aku bercanda saat aku bilang aku akan membunuhmu? Serahkan fotonya!" ancam Sang-su. "Sang-su. Haruskah aku melakukannya. Kenapa kau jadi seperti ini?" kata pemilik Kafe. "Apa orang brengsek sepertimu akan menjaga hidupnya! Semua sudah berakhir!" seru Sang-su kesal. "Kembalilah besok" kata pemilik Kafe dengan tenang. "Aku akan datang besok.. dan besoknya lagi. Aku akan terus kembali sampai kau memberikannya padaku" kata Sang-su kemudian beranjak pergi dari tempat itu. "Bagaimana tanganmu?" tanya pemilik Kafe saat melihat tangan kanan Sang-su yang diperban karna kemaren dipukulnya dengan botol. "Urusi urusanmu sendiri! Dan turunkan papan nama Little Star. Itu tak cocok untukmu" seru Sang-su kesal.


Di rumah sakit. "Ginjalmu cukup baik terlihat di gambar. Itu bagus" kata Papa Ji-ho pada Sang-su yang akan menyumbangkan ginjalnya untuk Ji-in..

Hwi-yeong berbicara dengan pemilik Kafe. "Apa yang akan coba kau lakukan padanya?" tanya Hwi-yeong cemas. "Apa kau begitu takut sesuatu mungkin akan terjadi padanya?" pemilik Kafe balik bertanya. "Kumohon, jangan ganggu Ka'Sang-su " pinta Hwi-yeong. "Kekhawatiran itu terlihat jelas di wajahmu. Pergilah" kata pemilik Kafe. "Aku akan menghentikanmu bagaimanapun caranya" kata Hwi-yeong kemudian pergi dari tempat itu.
Setelah Hwi-yeong pergi, datang 2 orang pria menghampiri pemilik Kafe. "Pak!" sapa mereka. "Ikuti wanita brengsek itu. Dia akan membawa kalian ke si brengsek Sang-su" kata pemilik Kafe. "Ya, pak. Tapi, dia seperti apa?" tanya pria itu. "Tangan kanannya di perban" kata pemilik Kafe.

Hwi-yeong berlari menghampiri Seung-ryong yang ada di depan warungnya. "Paman... Apa kau melihat Ka'Sang-su? " tanya Hwi-yeong. "Oh, disana... lewat sana" jawab Seung-ryong sambil menunjuk ke arah rumah sakit. Sementara itu, ada orang mengawasi Hwi-yeong dan Seung-ryong.

Seung-ryong berada di rumahnya. Ia sedang menyiapkan segala sesuatu yang ingin dibawanya untuk menginap di rumah sakit menemani Ji-in. Termasuk foto kenangan orangtuanya yang diselipkan dibalik jaketnya. Seung-ryong memakai sepatu baru pemberian Ji-ho. Ia mengamati sepasang sepatu itu kemudian beranjak pergi keluar dari rumahnya.  

"Hei, Sang-su! Apa kau Nam Sang-su?" teriak seseorang dari belakang, yang ternyata anak buah pemilik Kafe, orang itu membawa bata di tangannya. Seung-ryong berbalik ke belakang dan tersenyum. Kemudian ia ingat kata-kata ibunya. "Kau adalah satu-satunya hal yang bisa kutinggalkan untuk Ji-in Kau adalah satu-satunya yang bisa
kuberikan pada Ji-in Kuharap aku bisa memberi lebih, tapi aku tak bisa".

"Adikku , Ji-in...Tak apa-apa karna aku kakaknya" batin Seung-ryong sambil tersenyum. Sementara itu, Ji-ho dirumahnya sedang mencoba bermain piano lagi.


Seung-ryong berjalan terhuyung-huyung sampai di depan rumah Ji-ho. Ji-ho mulai lancar bermain Piano setelah mengingat waktu-waktu yang dilewatinya bersama Seung-ryong. Seung-ryong yang wajahnya berdarah, sampai di tiang listrik di depan rumah Ji-ho. Seung-ryong berusaha mengambil sepatunya yang terlepas. Seung-ryong roboh di atas salju. "Sepatu... Sepatuku. Aku berjanji...Aku takkan kehilangan sepatu-sepatuku lagi. Adikku.
Adikku... Aku harus menjaganya. Ibu.Aku takut...aku takut" kata Seung-ryong semakin dan semakin lemah sambil memegang dan melihat foto orangtuanya. Sementara di dalam rumah, permainan Ji-ho terus bertambah lancar.


Hujan turun dengan deras. Ji-ho memandangi tiang listrik yang biasa dipakai Seung-ryong untuk mengintip Ji-ho yang sedang ada di beranda kamarnya. Ji-ho menangis sedih karnanya. Sementara itu, warung roti Seung-ryong masih tutup.

Ji-in masuk ke sebuah kantor. "Apa ada yang bisa kubantu?" kata petugas di dalam kantor. "Aku datang untuk membuat sertifikat kematian" kata Ji-in."Oh, oke. Pertama, isi dulu formulir ini, lalu berikan padaku kalau kau sudah selesai" kata petugas itu sambil memberikan formulir yang harus diisi Ji-in. Tapi Ji-in tetap saja diam di tempat. "Apa kau butuh bantuan? Apa aku perlu mengisikannya untukmu?" tanya petugas itu sambil mengambil lagi formulir yang tadi diberikan pada Ji-in. "Apa hubunganmu dengan almarhum?" tanya petugas itu. "Dia... Dia kakakku, dan aku... adiknya" jawab Ji-in. "Oke" kata petugas itu. "Dia adalah kakakku, dan aku....adalah adiknya" ulang Ji-in lagi. "Oke" kata petugas. "Alamatmu?" tanya petugas lagi. "Dia kakakku... dan aku adalah adiknya" jawab Ji-in. "Ya, aku sudah tahu itu" kata petugas heran. "Dia kakakku... Aku adalah adiknya. Dia... Dia adalah kakakku, dan aku...adalah adiknya.... Dia kakakku, dan aku adiknya" kata Ji-in berulang-ulang sambil menangis dan menahan rasa sakit di hatinya karna kematian Seung-ryong. Seorang kakak yang sangat menyayanginya tapi tak pernah dihiraukannya.

Ji-in ada di dalam kamar Seung-ryong. Ia melihat sekeliling kamar kakaknya. dan memandang semua tulisan yang ada di atas kamar Seung-ryong. "Tenang...Jangan membangunkannya. Taruh sarapannya di depan kamar Ji-in. Siapkan juga sepatunya. Pulang ke rumah, lihat keadaan Ji-in dulu. Obatilah kalau Ji-in sakit. Bangun, buatkan Ji-in sarapan dulu. Tenanglah. Jangan membangunkannya" itu adalah tulisan yang ada di atap kamar Seung-ryong. Ji-in menangis sedih karnanya.


Narator : Ada satu orang bodoh di kota ini. Karna dia bodoh, dia hanya bisa
tersenyum..baik dalam waktu senang ataupun susah. Senyumnya akan selalu terkembang
dan siapa saja yang melihatnya akan ikut tersenyum. Sekarang, adiknya yang cantik
juga tersenyum saat dia berpikir tentangnya.

Hwi-yeong sekarang tersenyum bahagia karna sekarang ia bisa mencari uang yang halal. Ia bekerja di sebuah toko. Sedangkan Sang-su meneruskan warung Seung-ryong dengan berjualan roti panggang dan jualannya juga laris.

Lima bulan kemudian di Eropa. Ji-ho sudah kembali lagi ke Eropa. Ia bermain piano lagi. Semua orang senang mendengarkan permainan piano Ji-ho yang indah. "Seung-ryong.
Aku ada disini lagi sekarang karna kau menungguku. Apa kau mendengarnya. Piano yang kau ingat. Aku tahu kau mendengarnya. Terimakasih untuk semuanya" kata Ji-ho sambil tersenyum bahagia sekaligus menangis mengingat Seung-ryong.



SELESAI


3 komentar: